Naik gunung tentunya sudah bukan hal yang
lazim lagi di abad ke 21 ini banyak anak muda dan kalangan tua yang mengemari
hobi tersebut. Jika kita melihat akhir-akhir ini gunung sudah bagaikan pasar
tanah abang saja yang orang sampai berdesak-desakan untuk mencapai puncak.
Mendaki gunung adalah kegiatan yang beriorientasi pada alam terbuka dan mendaki
ke tempat yang lebih tinggi merupakan tujuan utama aktivitas olahraga tersebut.
Di Indonesia sendiri untuk mendaki gunung adalah hal
yang mudah untuk dilakukan karena banyaknya gunung di daerah sekitar pemukiman.
Dalam hal filsafat gunung sendiri mempunyai kedudukan khusus dalam sejarah
perkembangan filsafat misalnya beberapa filsuf seperti Martin Heidegger
menjalani Sebagian hidupnya dengan mengasingkan diri untuk mendaki gunung,
selain Martin Heidegger yang
sering mengasingkan dirinya ke gunung kita mengenal sosok soe hok gie,
sang aktivis era 60-an yang sering mengasingkan hidupnya ke gunung yang pada
saat itu gie beranggapan naik gunung adalah untuk menghilangkan stress atas
kacaunya perpolitikan yang ada di Indonesia saat itu. Martin Heidegger
sendiri sering menjadi pertapa di hutan hitam.
Sebagian oleh para filsuf gunung itu dijadikan alam pikir
mereka ada juga beberapa filsuf yang
mengajar anak-anak di daerah pegunungan, bercengkrama dengan masyarakat yang
ada disekitar pegunungan dan menjadikan gunung sebagai renungan tentang keadaan
alam semesta. Bahwa gunung memiliki hubungan yang dekat dengan filsafat bukan
hanya dalam konteks filsafat barat saja, tetapi dalam filsafat timur juga hal
seperti itu sudah biasa seperti apa yang dilakukan oleh seorang filsuf yang
berasal dari negeri China pendiri Taoisme
yaitu Lao Tzu dia sering menyepi dan pertapa di gunung untuk
mereflesikan alam pikir. Misalnya di Indonesia sendiri pada abad 11 dan 12 para
penyair jawa sering melakukan khazanah alam pikir di gunung, mereka sendiri
disebut kawi dalam bahasa kuno kawi itu adalah penyair. Penyair zaman dulu menjadikan gunung sebagai penghasil karya
Pemikiran dan karya sastra. Jadi aktivitas berpikir, merenung, menuliskan
kubahan sastra sangat dekat sekali dengan wilayah pegunungan, karena di gunung
sendiri kita menemukan kenyamanan dan ketentraman dalam berpikir.
Jika
Sebagian orang gunung adalah sesuatu tempat yang pas untuk mengasingkan diri
dari segala keramaian dan kebisingan kota karena di gunung kita akan menemukan
kenyamanan dan kesunyian, seperi apa kata Rocky Gerung “sunyi itu bunyi
yang sembunyi”. Kita mengatakan orang yang suka mendaki gunung adalah pendaki, ada
juga yang mengatakan turis atau Tourism, kata tourism sendiri mulai
populer pada abad ke 18 tepatnya di Eropa dikenal dengan namanya Grand Tour yaitu suatu pengembaran
yang dilakukan selama bertahun-tahun, biasanya hal ini dilakukan oleh para Aristokrat
yang melakukan pengembaran ke hutan dan gunung. Mereka sendiri melakukan
ini adalah untuk mengetahui gejala-gejala yang ada di masyarakat pedesaan dan
berusaha untuk melihat kepekaan terhadap lingkungan sekitar. Misalkan kita
mengenal Lord Byron seorang penyair romantik yang melakukan Grand
Tour di abad ke 18-an ini mengembara dari Inggris, Yunani sampai ke Turki.
Dalam perjalanan itu dia melihat keadaan sekitar dan hasil dari kepekaan
terhadap lingkungan sekitar oleh dia jadikan sebuah karya puisi. Kalau kita
mengenal arti kata Tourism sendiri adalah hasil dari makna Grand Tour
itu sendiri yang sekarang berntranformasi menjadi kata Tourism. Jadi
kalau sekarang kita mengenal arti pariwisata sebenernya itu berkelanjutan dari Grand
Tour yang pernah dilakukan oleh Lord Byron dan para Ariskokrat
lainnya.
Mendaki gunung sendiri selain dilakukan oleh para Tourism
dari kalangan Aristokrat sendiri sebenernya sering dilakukan oleh
para Backpacker contoh misalkan di Amerika sekitar abad 50 berkembang
trend baru yang di awali oleh Jack Kerouac cerita perjalanan dia
dituliskan dalam novel nya yang berjudul On The Road bagaimana dia mengelandang
kesuluruh bagian Amerika dengan cara menumpangi mobil atau kita mengenal di
zaman sekarang dengan ngebm jadi betul-betul mengelandang tidak tau
arah. Jadi hal seperti itu yang menjadi dorongan budaya hippie pada abad
60-an untuk berkelana dan mendaki gunung
untuk mencapai transformasi alam pikir dan kehidupan lainnya. Hal seperti itu
sudah tidak lazim dilakukan oleh para Backpacker, kita mengenal Backpacker
sebagai budaya orang-orang yang
berkelana dengan bekal seadanya menjadikan para Backpacker turun dan
terjun langsung dengan masyarakat sekitar. Dan itu sendiri cara Backpacker
untuk mengkonsolidasikan perenungan dalam dirinya tentang sebenernya kita ini
siapa, kita ini mau apa dalam hidup dan seterusnya.
Jadi sebenernya orang mengelana, orang yang naik gunung itu bukan untuk ngaco-ngacoan apalagi hanya sekedar eksis untuk foto di sosial media apalagi sampai merusak gunung itu sendiri dengan membuang sampah sembarangan. Bahkan menurut data Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger semeru menunjukkan setiap pengunjung membuang sekitar 0,5 kilogram sampah di gunung Semeru, yang dimana gunung itu setiap hari dikunjungi oleh 200 pendaki hingga 500 pendaki. Artinya, di gunung semeru ada sekitar 250 kilogram sampah per hari. Sebenernya kondisi tersebut tidak hanya terjadi di gunung Semeru. Beberapa aktivis lingkungan mengatakan tumpukan sampah di taman nasional dan gunung di Indonesia menjadi panorama umum dan hal yang lumrah. Tentunya jika kita membiarkan hal ini maka akan semakin merusak alam itu sendiri. jadi naik gunung itu bukan hanya sekedar gaya-gayaan atau tas siapa yang paling mahal bukan juga soal siapa yang paling tinggi dalam mendaki gunung tetapi kita sendiri sebagai makhluk ciptaan tuhan harus bisa memahami dan memaknai dari sebuah alam tersebut. Jadi sebenarnya naik gunung itu untuk mencari kepribadian kita untuk mengenal sisi kehidupan yang lainnya dan mengasingkan diri dari kehidupan dunia pada umumnya sehingga kita menemukan jati diri kita sendiri seperti apa.
Kalau kata Rocky Gerung sendiri mendaki gunung akan membuat anda mengalami semua jenis orgasme, orgasme etstetik dapat, orgasme intelektual dapat, orgasme batin dapat. jadi seluruh puncak kenikmatan hidup itu ada Ketika anda mendaki gunung. Pada hakikatnya naik gunung bukan hanya sekedar eksistensi semata bukan pula hanya untuk siapa yang paling cepat mendaki gunung apalagi sampai merusaknya dengan membuang sampas sembarangan, tetapi mendaki gunung adalah untuk mengetahui tentang alam dan tentang kehidupan yang lain untuk bisa menghasilkan karya-karya kehidupan.
(Fajar Saris Hendarsah/Hubungan Internasional/ 2019)
0 Comments
Yuk kita diskusi di sini...