Dalam Islam, terdapat syariat yang
banyak menuai kontroversial terutama di negara Indonesia. Syariat tersebut
adalah poligami. Dimana banyak penduduk indonesia khususnya wanita yang
menentang syariat tersebut. Padahal poligami menjadi hal yang lumrah di
kalangan masyarakat khususnya di negara Arab dan beberapa negara Timur Tengah.
Terlepas dari kontroversial yang ditimbulkan oleh poligami, masyarakat
indonesia yang memperbolehkan poligami cenderung mengambil dalil Qs. An-Nisa’
ayat ke-3
وَاِنْ
خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ
النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا
فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا
تَعُوْلُوْاۗ
Jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), nikahilah perempuan (lain) yang
kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Akan tetapi, jika kamu khawatir tidak akan
mampu berlaku adil, (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang
kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk tidak berbuat zalim.
Pada ayat tersebut disebutkan “nikahilah
perempuan lain yang kamu senangi: dua, tiga atau empat”. Sehingga
masyarakat awam cenderung mengambil makna tekstual dari ayat tersebut. Sehingga
melahirkan pemahaman tentang kebolehan seorang laki-laki menikahi wanita
maksimal 4 orang. Karena pada ayat tersebut menerangkan bahwa laki-laki boleh
memilih apakah dia ingin memiliki satu istri, dua, tiga dan paling banyak empat
istri selama dia bisa berlaku adil terhadap istri-istrinya. Pemahaman ini tidak
salah, akan tetapi bila dikaji secara dari dari segi kebahasaan maka akan
timbul beberapa macam penafsiran tentang ayat tersebut.
Penafsiran pertama adalah penafsiran
yang umum dipakai masyarakat muslim di Indonesia. dimana huruf وَ
pada kalimat مَثْنٰى
وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ bermakna “atau”. Meskipun secara leksikal huruf وَ memiliki makna
“dan”. Namun, pada ayat tersebut sebagian mufassir mengartikan وَ
pada ayat tersebut dengan “atau” bukan “dan”. Penafsiran ini kemudian
melahirkan dalil bahwa laki-laki diberikan kebebasan memilih apakah dia ingin
beristri satu, dua, tiga dan paling banyak empat istri.
Penafsiran kedua mengatakan bahwa kata وَ
pada kalimat مَثْنٰى
وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ tidak bisa dimaknai dengan kata “atau”. Melainkan harus
dimaknai dengan makna tekstualnya yang bermakna “dan”. Hal ini kemudian melahirkan
dalil bahwa laki-laki boleh menikahi wanita paling banyak Sembilan orang. Hal
ini didasarkan bahwa “dan” dimaknai sebagai penambahan pada ayat tersebut.
Sehingga dua ditambah tiga ditambahempat memiliki hasil Sembilan. Pendapat ini tergolong
lemah dan banyak mendapatkan pertentangan dari para ulama.
Penafsiran
ketiga adalah penafsiran yang cukup ekstrem. Dimana kata مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ dimaknai sebagai tarbi’i (kuadrat).
Artinya kata مَثْنٰى pada ayat
tersebut bukan berarti dua melaikan empat. Kata ثُلٰثَ bukan bermakna tiga melainkan Sembilan.
Dan kata وَرُبٰعَ tidak diartikan dengan empat melainkan
enam belas. Hal ini dikarenakan hasil dari dua kuadrat adalah empat, tiga
kuadrat adalah Sembilan dan empat kuadrat adalah enam belas. Sehingga empat
ditambah Sembilan ditambah enam belas berjumlah dua puluh Sembilan. Hal ini
kemudian melahirkan pendapat bahwa laki-laki bisa menikahi wanita paling banyak
dua puluh Sembilan. Pendapat ini juga dinilai lemah oleh para ulama.
Terlepas
dari berbagai penafsiran diatas, penulis ingin mengkritisi tentang pegambilan
Qs. An-Nisa ayat ke-3 sebagai dasar hukum bolehnya seseorang berpoligami.
Karena apabila kita melihat konteks ayat, maka ayat diatas membicarakan anak
perempuan perempuan yatim yang berada dalam pengasuhan atau perwalian orang
lain. Dalam Islam, seorang wali boleh menikahi anak perempuan yang ada dalam
perwaliannya selama wali tersebut tidak memiliki hubungan darah atau hubungan
sepersusuan dengan wanita tersebut. Namun, budaya yang berkembang di Arab dan
beberapa negara di timur tengah adalah seorang wanita yang dinikahi cenderung
akan mengajukan mahar yang sangat besar yang apabila ditaksir nominalnya bisa
mencapai ratusan hingga miliyaran rupiah. Hal ini tentu memberatkan bagi beberapa
orang termasuk wali yang ingin menikahi anak perempuan yang berada dalam
perwaliannya. Mengingat seorang wali tentu saja menghabiskan uang yang tidak
sedikit untuk menghidupi perempuan yang ada dalam perwaliannya tersebut. Dan
ketika wanita itu tumbuh dewasa dan siap untuk dinikahi justru dia masih
mengajukan mahar yang besar. Maka Allah Swt, menurunkan Qs. An-Nisa ayat ke 3
sebagai solusi dari permasalahan tersebut. Dimana wali tersebut boleh menikahi
wanita lain sebanyak dua, tiga atau empat, sembari mengumpulkan dana untuk
menikahi perempuan yang berada dalam perwaliannya. Hal ini tentu untuk
menghindarkan wali tersebut dari perzinaan karena belum bisa menikahi perempuan
tersebut. Oleh karena itu, pada kalimat فَانْكِحُوْا menggunakan
huruf fa’ yang bermakna “maka” yang mengindikasikan pemberian opsi
kepada wali yang belum mampu menikahi perempuan dalam perwaliannya agar
menikahi wanita yang lain sebanyak boleh dua, tiga atau empat.
Maka ayat diatas dipandang
kurang sesuai apabila digunakan sebagai dalil khalayak umum untuk berpoligami.
Karena ayat diatas khusus menerangkan kondisi seorang wali dengan anak
perempuan yang berada dalam perwaliannya. sehingga kurang sesuai apabila
dijadikan dalil umum bolehnya seseorang berpoligami.
Dalil yang lebih sesuai
adalah sabda Nabi Saw. tentang seorang laki-laki bernama Ghailan bin Salamah
ats-Tsaqafi yang masuk islam dan memiliki sepuluh istri. Maka Nabi Saw.
memerintahkan kepada laki-laki tersebut agar memilih empat orang dan
menceraikan sisanya. Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, ada
seorang laki-laki al-Harits bin Qais al-Humairah al-Asadi yang memiliki delapan
orang istri, lalu nabi memerintahkannya agar memilih empat diantara mereka dan
menceraikan sisanya. Dalil-dalil ini dianggap lebih sesuai karena bersifat umum
konteksnya, tidak seperti dalil Qs. an-Nisa’ ayat tiga yang membicarakan khusus
tentang seorang wali dengan anak perempuan yang berada dalam perwaliannya.
Oleh karena itu, dalam
memahami kitab suci Al-Qur’an tidak hanya bisa berpatokan pada terjemahannya
saja, melainkan perlu dilakukan pengkajian terhadap aspek aspek lain sehingga
seorang mufassir dapat mengeluarkan makna sebenarnya yang dimaksud pada ayat
tersebut. Sehingga tidak memunculkan penafsiran yang salah dan berujung pada
pengambilan istinbad hukum yang salah pula.
(Penulis : Fash Fahish Shofhal Jamil/IAT/2020| Editor : Syarifah Zahra/Deputy of Ministry ER)
0 Comments
Yuk kita diskusi di sini...