Di tengah kondisi masyarakat global yang panik
dan dipenuhi ketakutan terhadap pandemi yang menjalar sejak awal tahun 2020
kemarin, terdapat sebuah kabar baik bagi anak muda Indonesia. Sebuah buku yang
ditulis Dr. Muhammad Faisal dengan judul Generasi Kembali ke Akar: Upaya
Generasi Muda Meneruskan Imajinasi Indonesia menandai optimisme akan
kejayaan masa depan bangsa yang dibangun oleh generasi muda tangguh,
berkarakter, dan berbudaya.
Disusun
berdasarkan penelitian etnografis selama hampir 10 tahun di 13 kota yang
tersebar di seluruh Indonesia, buku ini bisa dibilang karya penting dalam
diskursus kepemudaan Indonesia. Terlebih dengan adanya bonus demografi yang
sedang dan akan terus berlangsung hingga tahun 2036. Meskipun disandarkan pada
penelitian yang ilmiah, cara penyajian yang digunakan oleh Faisal terasa sangat
mengalir dan mudah dipahami oleh berbagai kalangan.
Melalui
buku tersebut, penulis menjelaskan klasifikasi generasi sesuai konteks
kelahiran dan zaman beserta karakter utama yang melekat padanya. Meskipun
pembahasan soal teori generasi telah ramai diperbincangkan dengan mengacu pada
buku-buku yang ditulis oleh peneliti dari Amerika Serikat dan Eropa, Faisal
menegaskan bahwa pembagian tersebut sejatinya berbeda dengan apa yang terjadi di
Indonesia. Hal ini disebabkan perbedaan momen, peristiwa, dan respon atas
fenomena tersebut oleh pendahulu yang menghuni negeri ini.
Oleh
karena itu, Faisal kemudian merumuskan pembagian generasi yang sesuai dengan
konteks Indonesia ke dalam empat jenis, yakni generasi alpha, beta, theta, dan
phi. Generasi alpha merupakan mereka yang lahir 1900-1930-an. Pada rentang
waktu tersebut, di belahan dunia secara global sedang terjadi pertarungan
ideologi dunia. Mulai dari kapitalisme, komunisme, fasisme, sosialisme, dan
banyak lainnya.
Di era ini lahir pemuda-pemuda revolusioner
dengan karakteristik utama suka berpindah dari satu kota ke kota lain atau
pusat intelektual untuk belajar. Gaya hidup yang mereka praktekkan pun seimbang
antara modernis di satu sisi, serta tradisionalis pada sisi lainnya. Salah satu
misi mereka ialah berjuang melawan cara berpikir orang tuanya yang kolot.
Pada masa ini, pemuda juga banyak mendirikan
organisasi-organisasi sebagai basis gerakan untuk memperjuangkan sebuah hal. Sebut
saja Sarekat Dagang Islam, Boedi Oetomo, Indsiche Partij, Jong Java, Jong
Celebes, dan lain-lain. Sebagai bekalnya, generasi yang hidup pada masa ini
kebanyakan memiliki tiga kecakapan utama, yakni menulis, berorganisasi, dan
keterampilan berbicara di depan umum.
Beberapa nama yang bisa disebut dalam era ini
di antaranya H.O.S Tjokroaminoto, H. Samanhudi, Tirto Adhi Soerjo, Dr. Soetomo,
Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantara, dan Tjipto Mangoenkoesomo. Ki Hajar
Dewantara misalnya baru berusia 22 tahun ketika beliau menggagas Indische
Partij pada tahun 1912 bersama dua rekannya, yakni Douwes Dekker dan Tjipto
Mangoenkoesomo.
Selanjutnya, generasi beta ialah mereka yang
lahir pada tahun 1940-an hingga 1966, di mana ciri utama yang melekat ialah
adanya pergulatan moral dan emosional seperti yang dialami oleh Silent
Generation di Amerika Serikat. Tokoh-tokoh kritis dan idealis seperti Bung
Tomo dan Soe Hok Gie menjadi bagian dari gerbong generasi ini. Meskipun di sisi
lain mulai lahir teknokrat-teknokrat baru semacam B.J. Habibie, Adam Malik,
Fuad Hassan, Sarwono Kusumaatmadja, dan Widjojo Nitisastro yang bergabung
dengan pemerintah dalam menyukseskan program pembangunan nasional.
Ketiga, ialah mereka yang lahir pada tahun
1970-an hingga 1998. Faisal menyebutnya dengan generasi theta. Di era ini,
ekspresi identitas, kultur, dan idealisme pemuda mendapat pembatasan dan
pengekangan cukup kuat dari pemerintah. Tak cukup di situ, upaya westernisasi
pun berlangsung dengan cepat, di mana hal itu ditandai oleh pembukaan akses
terhadap budaya barat secara bebas dan lebar oleh pemerintah saat itu.
Program indoktrinasi pun ditanamkan begitu
kuat oleh pusat kekuasaan. Mulai dari slogan empat sehat lima sempurna,
anti-komunis, hingga penyeragaman identitas nasional melalui program Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) yang dipimpin oleh Ruslan Abdul Gani.
Tak heran jika kemudian sebagian besar generasi ini bersikap defensif dan
protektif terhadap anak-anaknya ketika mereka kemudian tumbuh dewasa.
Keempat,
generasi phi yang lahir antara tahun 1998 hingga 2004-an. Mereka yang lahir
dalam rentang waktu ini mengalami pertumbuhan pada masa transisi kekuasaan
(B.J. Habibie, Gus Dur, Megawati, hingga Susilo Bambang Yudhoyono), sistem
politik, kebebasan pers, desentralisasi pemerintahan, penghapusan dwifungsi
ABRI, serta pembaharuan paradigma ekonomi dan pemerintahan. Hal positif dari
generasi ini ialah karena mereka tidak mendapat indoktrinasi tertentu
sebagaimana generasi theta. Akan tetapi, terdapat kekosongan narasi mengenai
pemuda, terutama akibat derasnya laju perkembangan teknologi yang membuat
segalanya seakan terkesan mudah.
Meskipun demikian, hasil riset Faisal
menemukan bahwa geliat penggunaan sosial media oleh kelompok ini berbanding
lurus dengan tumbuhnya kesadaran kolektif untuk saling membantu dalam upaya
meraih kejayaan bangsa, bukan malah bersifat individualistis. Oleh karena itu,
ia menyebut bahwa generasi muda pada masa ini merupakan generasi yang akan
kembali kepada akarnya, yakni mereka yang mampu mengawinkan kompetensi global (world
class competence) dan pemahaman akar rumput (grasroot understanding)
sebagai modal dalam menyongsong Indonesia Emas 2045.
(Ahmad Bagus Kazhimi/Ilmu Tasawuf/ 2018)
1 Comments
Online Casino Site - Lucky Club Casino
ReplyDeleteFind a casino site that offers you the best in slots, table games and live dealer games. We also have exclusive games such as blackjack, roulette, poker, baccarat luckyclub and
Yuk kita diskusi di sini...